Kontemplasi

Mendua

Setiap kata tak pernah bisa dilepaskan dari konteks ruang dan waktu. Terlebih pada nilai rasa pengguna(an)nya. Ini menjadi konflik tersendiri bagi saya. Saya berharap hidup di konteks yang berbeda tak selamanya harus kehilangan akar, asal usul dimana saya sebelumnya. Namun ada tarik menarik, ada ketegangan yang akut untuk memilih kata dari bahasa asal dan bahasa yang sedang saya diami sekarang: Kau, Kamu dan Lu.

Panggilan orang kedua tunggal. Ini masalah pertama ketika saya berbincang dengan sebagian besar orang yang saya kenal, baru kenal, ataupun pada orang yang saya tidak kenal.

Dari kecil saya tak pernah merasa pening untuk memanggil orang yang seumuran atau lebih muda dengan Kau, biasanya saja. Tak ada tendensi yang buruk. Kau terdengar puitis, teatrikal, dan bertenaga. Entah apa sebabnya di kehidupan sosial Jakarta dan sekitarnya, kata kau terdengar kasar dan kurang elok. Mengingat prinsip di mana bumi diinjak di situ langit dijunjung, saya pun menyimpan kata kau di dalam sanubari dan membuka diri untuk belajar menggunakan kata Lu dan Kamu.

***

Lu, panggilan orang kedua tunggal ini oleh sebagian ahli adalah dialek orang cina yang berdagang di era kolonialisme di batavia, sebagian besar adalah orang-orang dari negeri Cina guna mengadu nasib di tanah nusantara dan sebagian lagi berpendapat adalah dialek masyarakat betawi kebanyakan. Lu, digunakan untuk memanggil rekan sejawat ataupun seseorang yang lebih muda. Lu, mempunyai difrensiasi: elu, loe, luh, lo, dkk.

Tak serta merta memang bisa mengunakan kata ini dengan baik. Saya perlu beradaptasi bagaimana mensiasati nilai rasa kata lu yang sudah melekat di kepala: Lu yang terdengar arogan di telinga, lu yang membentangkan jarak antara pembicara dan pendengar.

Akhirnya saya menyepakati, lu saya gunakan dengan nilai rasa yang bertranformasi menjadi: dunia adalah panggung dan saya adalah penguasa, lawan bicara adalah subordinat yang tunduk pada kata-kata saya. Tentunya ini hanya main-main, tidak serius. Terlebih terdengar lucu.

Ini adalah bentuk akomodasi nilai rasa lu yang saya buat, mengadopsi nilai rasa kau yang teatrikal.

Kamu, panggilan kedua tunggal ini sering digunakan oleh teman-teman saya yang berasal dari jawa timur, jawa tengah, dan jawa-jawa yang lain kecuali jabodetabek.

Awal-awalnya saya ingin terbahak kencang ketika ada seorang rekan yang menggunakan kata kamu pada saya. Saya tahan dan saya mencoba mencari tahu kamu ini jenis makhluk apa.

Kamu dalam persepsi teman-teman dari jawa ini adalah panggilan yang sopan dan netral. Tentunya kita tidak boleh melupakan dalam bahasa jawa terdapat strata penggunaan bahasa. Kamu adalah kata yang menyelinap, lolos dari jebakan strata ini.

Di persepsi kepala banyak orang Jabodetabek, kamu adalah panggilan sayang-sayangan untuk insan yang sedang mabuk kepayang. Nilai rasa yang mengikat kamu terkungkung oleh hubungan dua insan yang dunia milik kita berdua saja.

Bagi saya, kamu adalah kata yang terdengar gombal bal bal bal…

Tapi saya tidak pernah keberatan untuk rekan-rekan saya yang dari Jawa untuk menggunakan kamu ketika berdialog dengan saya. Saya akan mencoba melihat dari kacamatanya. Tetapi sungguh, saya sejauh ini tidak akan menggunakan kata kamu dalam dialog. Persepsi gombal masih melekat di kepala saya. Dan saya tidak suka dengan aktifitas gombal. Gombal hanya membuat hidup makin banal. Mohon ampuni saya.

***

Saya adalah pria konservatif yang gamang ketika dihadapkan dalam dunia patriarkis dengan dunia yang menuntut kesetaraan gender. Di satu sini, saya menyakini bahwa lelaki adalah pemimpin sedang di sisi yang lain mengamini wanita juga punya hak dan kapabilitas untuk memimpin. Membingungkan.

Patriarki punya keangkuhan tersendiri, kesetaraan gender pun iya. Patriarki angkuh untuk mempertahankan status quo-nya. Penggagas kesetaraan gender pun angkuh sekuat tenaga membinasakan status quo. Pertarungan yang tak akan pernah habis-habisnya.

Saya tak selalu sepakat dengan dunia yang patriarkis karena menyusahkan kaum lelaki saja, kaum lelaki terlalu dibenamkan dalam peran-peran sosial serta kewajiban-kewajiban moral. Moral yang kadang-kadang terasa ambigu. Lelaki adalah sentral kehidupan, ini esensi dari dunia patriarki. Gila sekali. Tuhan tak perlu repot-repot menciptakan hawa sebetulnya jika logika ini digunakan.

Dunia yang menuntut kesetaraan gender kadang-kadang menyebalkan, dalam ide yang radikal, ini terasa egois karena menyangka kaum hawa adalah satu-satunya korban dari dunia yang patriakis. Sedang kaum lelaki adalah biang keroknya. Ini juga gila. Bagaimana jika dahulu Tuhan menciptakan Hawa dahulu baru Adam, apakah dunia feminim yang terjadi?

Dari sinilah letak kegamangan saya ketika memposisikan kaum hawa, memanggilnya dengan panggilan orang kedua apa?

Saya percaya bahwa lelaki dan perempuan sama, setara, tak ada yang lebih tinggi derajatnya, dan harus diperlakukan sama sebagai manusia yang punya hak dan kewajiban. Sebagai subyek bukan obyek ataupun subordinat.

Konflik lahir batin ketika teman-teman saya kaum hawa ini dengan elu, karena elu seperti yang sudah saya sebut diatas adalah: dunia adalah panggung dan saya adalah penguasa, lawan bicara adalah subordinat yang tunduk pada kata-kata saya. Dan ini tak bisa terdengar lucu lagi jika digunakan.

Bermasalah karena asumsi yang saya gunakan dalam pemakaian lu adalah hubungan subyek dan subordinat. Dan ini melanggar kepercayaan saya bahwa lelaki dan perempuan adalah subyek.

Inilah adalah contoh nyata sikap medua karena dengan sesama kaum adam saya tenang-tenang saya menggunakan panggilan lu. Saya mau tak mau harus terjerembab membeda-bedakan kaum hawa dan adam. Adakah saya seorang patriarkis?

Maka saya, sampai saat ini tidak pernah (kalaupun pernah berarti salah ucap, ataupun sedang bermanuver apa rasanya memanggil kaum hawa dengan elu, atau menggangap lawan bicara saya sebagai kaum adam) menggunakan elu dalam percakapan dengan kaum hawa. Saya cukup memanggilnya dengan nama. Bukan elu. Bukan kamu. Ini menambah kerjaan saja sebenarnya: harus menghafal nama orang yang saya kenal. Ini bentuk teraman dan termudah yang bisa saya pilih. Lain tidak dan mungkin akan terus menunggu.

Akhirnya tulisan ini harus saya tutup dengan:

Untuk teman-teman, rekan sejawat yang selalu bertanya mengapa saya enggan menggunakan kamu dan elu, tulisan ini khusus saya tulis untuk kalian. Semoga bisa dimaklumi dengan lapang dada. Mohon ampun jika menyinggung. Sekian dan terima kasih. 🙂

About upik

Bujang Melayu.

Diskusi

6 respons untuk ‘Mendua

  1. Di keluarga gw gak ada yang ‘aku-kamu’ ‘saya-kamu’ atau ‘gw-lo’. Kami saling memanggil dengan jabatan yang diemban (mama/papa/aa/teteh). Berhubung gw gak punya jabatan selaku anak bungsu, mau gak mau dipanggil namanya sahadja.
    Kalo lo manggil nama berarti lo kenal dong, sedangkan gw sering menutupi fakta bahwa gw lupa nama seseorang dengan tetap memanggilnya dengan ‘lo’ 😀

    Posted by nanien | 11 April 2012, 12:40 PM
  2. nimbrung aahh.. memanggil nama itu biasanya untuk pdkt-an. hahaa

    Posted by mmbah | 13 April 2012, 1:58 PM
    • sejatinya setiap orang pasti pdkt dengan orang yg baru dikenalnya. dan manusia selalu tak pernah kenal dengan orang yg mereka anggap sudah dikenalnya, maka pdkt itu proses seumur hidup. (membela diri) 😈

      Posted by upik | 13 April 2012, 2:15 PM

Tinggalkan komentar